Rabu, 20 Oktober 2010

Hak Merchandising

PERLINDUNGAN HUKUM HAK MERCHANDISING
DALAM MENUNJANG PERTUMBUHAN INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA














Oleh:
Muhamad Djumhana












BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Dalam setiap kegiatan yang melibatkan masyarakat, sering diperdagangkan benda-benda fungsional tertentu seperti: t shirt, topi, alat-alat tulis sekolah, tas, poster, kalender, gantungan kunci, mainan, mug, alat rumah tangga, yang berhubungan dengan kegiatan termaksud sebagai suatu cinderamata. Produksi, dan perdagangan benda-benda fungsional tersebut nampaknya tidak hanya berhubungan dengan kegiatan tertentu saja, namun juga dapat berhubungan dengan promosi maupun dengan kegemaran masyarakat kepada artis atau karakter film maupun novel..
Produksi, dan perdagangan benda-benda fungsional tersebut pada dasarnya memanfaatkan unsur utama suatu karya intelektual dibidang hak cipta, hak merek, hak desain industri, maupun hak kekayaan intelektual lainnya. Dengan demikian produksi maupun perdagangannya berhubungan dengan hasil kreasi daya cipta sehingga pemilik atau pemegang hak kekayaan intelektual tersebut lah yang juga mempunyai hak untuk memproduksi memperdagangkannya.
Semula tujuan mereka memproduksi, dan memperdagangkan benda-benda fungsional tersebut hanya sebagai cinderamata, dalam rangka mempererat hubungan emosional, alat promosi atau benda-benda kenang-kenangan suatu kegiatan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, saat ini produksi benda-benda fungsional tersebut telah menjadi bagian dari industri kreatif yang ditangani secara serius. Benda-benda fungsional seperti itu dalam dunia perdagangan dikenal dengan istilah merchandise, dan dalam rezim hukum hak kekayaan intelektual atas ciptaan kreatif benda-benda fungsional (merchandise) seperti itu diberikanlah perlindungan hukumnya dengan istilah hak merchandising.
Besarnya pangsa pasar serta konsumen fanatik atas benda-benda fungsional (merchandise) tersebut, telah mengilhami pengusaha tertentu untuk terlibat memproduksinya secara sah maupun tidak sah. Tindakan pengusaha yang tidak sah berupa produk bajakan, yang dapat berupa suatu perbuatan peniruan karakter film, merek, atau logo dan sejenisnya untuk ditempelkan pada barang-barang tertentu, atau pun membuat suatu benda yang menggunakan karakter film tertentu untuk tujuan komersial tanpa hak atau izin dari pemilik hak cipta film tersebut, dan perbuatan lainnya yang tidak dilandasi oleh alas hukum yang sah. Merebaknya penggunaan karakter Upin dan Ipin dalam berbagai merchandise tanpa hak di Indonesia saat ini, menunjukkan bahwa masih begitu seringnya pelanggaran hak merchandising ini.
Adanya pelanggaran terhadap hak merchadising, karena besarnya nilai ekonomi dari penjualan benda-benda fungsional (merchandise) tersebut, serta belum dipahaminya ketentuan hak cipta. Pelanggaran tersebut menyebabkan kerugian ekonomi, yang jumlahnya tidak sedikit bagi pemilik/pemegang hak yang sah. Memperhatikan kondisi seperti itu, maka tidak berlebihan apabila negara-negara industri seperti Australia, Jerman, dan Jepang sangat memperhatikan perlindungan hukum hak merchandising ini.
Berbeda dengan negara-negara di atas, di Indonesia perlindungan hukum terhadap hak merchandising belum tersurat dalam peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual yang ada. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pun, tidak ada ketentuan yang mengaturnya secara tersurat. Ketidakadaan peraturan atau ketentuan, dan lemahnya penegakan hukum seperti itu merupakan kondisi yang tidak diharapkan oleh pelaku usaha industri kreatif.
Kondisi lemahnya hukum tersebut sangat dirasakan oleh para pelaku industri kreatif di Indonesia, mereka selalu dibayangi adanya pelanggaran hak yang dimilikinya berupa pembajakan atas karya ciptanya. Secara kasat mata perdagangan barang bajakan karya cipta musik maupun film dalam bentuk VCD dan DVD sangat marak, hal itu mudah ditemukan di Bandung disekitar pertokoan Dalem Kaum, dan di Jakarta di daerah Glodok. Maraknya bentuk pembajakan karya cipta seperti itulah kiranya yang menjadi alasan Shabhi Mahmashani, menyatakan bahwa efektifitas dan perlindungan HKI akan sangat dirasakan oleh para pencipta, karena hak ekonomi yang didapatkannya tidak sebanding dengan pengorbanannya untuk menciptakan suatu karyanya.
Contoh konkrit lainnya, tampak dari banyaknya kasus pembajakan karya cipta merchandise dapat terlihat dari banyaknya outlet penjual merchandise klub sepakbola seperti Persib, Arema Indonesia, dan klub lainnya, yang dijalankan secara tidak sah, dan tidak membayar royalty kepada klub. Menurut Direktur Bisnis PT. Arema Indonesia, saat ini baru sebanyak 40 outlet yang telah resmi tergabung dengan PT. Arema Indonesia, sehingga dengan demikian selebihnya barang-barang merchandise yang beredar merupakan barang ilegal. Adanya bayangan pembajakan, menyebabkan investasi dalam industri kreatif yang berbasiskan kekayaan intelektual dapat terhambat, dan lamban dalam perkembangannya.
Uraian di atas memberikan gambaran adanya permasalahan hukum yaitu dirasakan kurang atau bahkan belum adanya perlindungan hukum atas hak merchandising di Indonesia. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul, Perlindungan Hukum Hak Merchandising Dalam Menunjang Industri Kreatif di Indonesia Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan mengenai hak kekayaan intelektual akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek ekonomi, teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual yaitu aspek hukum Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti telah diidentifikasi sebagai berikut:
1. Sejauhmana perlindungan hukum terhadap hak merchandising dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dapat menunjang peningkatan industri kreatif?
2. Bagaimanakah pemilik/pemegang hak merchandising melakukan perlindungan secara hukum atas hak merchandising yang dimiliki atau dipegangnya?

C. Kerangka Pikir
Ide dasar sistem hak cipta adalah untuk melindungi wujud hasil karya manusia yang lahir karena kemampuan intelektualnya. Perlindungan hukum ini hanya berlaku kepada ciptaan yang telah mewujud secara khas sehingga dapat dilihat, didengar, atau dibaca. Dengan ide dasar seperti diuraikan di atas, maka perlindungan yang diberikan oleh hak cipta yaitu untuk melindungi pencipta terhadap orang-orang yang ingin memanfaatkan karya ciptanya secara tidak wajar, dan atau mengkomersialkan hak cipta yang bukan miliknya itu, selain itu juga untuk memberikan penghargaan kepada kreativitas seseorang sehingga diharapkan dapat mendorong gairah penciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, dan sekaligus untuk membuat hasil karya tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas.
Selain terhadap hak-hak utama dalam hak cipta, perlindungan diberikan pada unsur-unsur lain dalam hak cipta seperti pengalihwujudan, berupa pencegahan atau larangan kepada pihak lain memanfaatkan dengan tujuan komersial tanpa izin sah dari pemegang hak. Salah satu bentuk pengalihwujudan dari hak cipta tertentu, yaitu berupa produk-produk barang-barang fungsional yang dikenal dengan merchandise. Adapun perlindungan yang diberikan atas penciptaan barang-barang fungsional tersebut dikenal dengan hak merchandising. Dalam kegiatan ekonomi, sektor produksi, dan perdagangan barang-barang fungsional tersebut dalam lingkup industri kreatif.
Industri kreatif, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekonomi kreatif. Menurut Edi Irawan, disebutkan bahwa ekonomi kreatif berfokus pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreativitas sebagai bentuk kekayaan intelektual. Istilah industri kreatif semula berkembang di Inggris, oleh karena itu, pengertian industri kreatif semula dari asing, diantaranya:
Creative Industry: Creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property. This includes: advertising, architecture, the art and antiques market, crafts, design , designer fashion, film and video, interactive leisure software, music, the performing arts, publishing, software and computer services, television & radio.

UK DCMS Task force 1998:
“Creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”

“Industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut “.

Membicarakan perlindungan hukum terhadap hak merchandising dalam menunjang industri kreatif, maka harus mendasarkan kepada prinsip dasar ekonomi yaitu pendekatan cost benefit. Namun dari segi hukum harus berpijak pada konsep pembangunan hukum, dimana suatu materi konsep hukum (a quo perlindungan hukum terhadap hak merchandising) diatur, dan diterapkan dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.
Menurut Adi Sulistiyono, 2007, bahwa:
Dalam upaya menempatkan hukum sebagai instrumen yang berwibawa untuk mendukung pembangunan ekonomi, nampaknya perlu diketahui peran apa yang dikehendaki oleh bidang ekonomi dari keberadaan hukum di masyarakat. Beberapa pakar ekonomi mengharapkan agar pembangunan hukum ekonomi harus diarahkan untuk menampung dinamika kegiatan ekonomi, dengan menciptakan kegiatan yang efisien dan produktif, dan mengandung daya prediktibilitas.
Satjipto Rahardjo, dalam bukunya Hukum dan Masyarakat, telah menguraikan mengenai peran hukum dalam kehidupan ekonomi dengan mendasarkan kepada pendapatnya Nyhart, yang mengemukakan adanya beberapa “konsep-konsep ilmu hukum azasi” yang mempunyai pengaruh bagi pengembangan kehidupan ekonomi sebagai berikut:
(1) Prediktabilitas, hukum mempunyai kemampuan untuk memberikan gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan yang dilakukan pada waktu sekarang.
(2) Kemampuan prosedural, pembinaan di bidang hukum acara memungkinkan hukum material itu dapat merealisasikan dirinya dengan baik, ke dalam pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan melainkan juga semua prosedur penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa, misalnya bentuk-bentuk: arbitrasi, konsiliasi dan sebagainya. Kesemua lembaga tersebut hendaknya dapat bekerja dengan efisien apabila diharapkan, bahwa kehidupan ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang maksimum.
(3) Kodifikasi dari pada tujuan-tujuan, perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu kodifikasi tujuan serta maksud sebagaimana dikehendaki oleh Negara. Di bidang ekonomi misalnya kita akan dapat menjumpai tujuan-tujuan itu seperti dirumuskan di dalam beberapa perundang-undangan yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruhnya terhadap kehidupan perekonomian.
(4) Penyeimbang, sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam masyarakat. Sistem hukum memberikan “kesadaran akan keseimbangan” dalam usaha-usaha negara melakukan pembangunan ekonomi.
(5) Akomodasi, perubahan yang cepat sekali pada hakekatnya akan menyebabkan hilangnya keseimbangan yang lama, baik dalam hubungan antar individu maupun kelompok di dalam masyarakat. Keadaan ini dengan sendirinya menghendaki dipulihkannya keseimbangan tersebut melalui satu dan lain jalan. Di sini sistem hukum yang mengatur hubungan antara individu baik secara material maupun formal memberi kesempatan kepada keseimbangan yang terganggu itu untuk menyesuaikan diri kepada lingkungan yang baru sebagai akibat perubahan tersebut. Pemulihan kembali ini dimungkinkan oleh karena di dalam kegoncangan ini sistem hukum memberikan pegangan kepastian melalui perumusan-perumusan yang jelas dan definitif, membuka kesempatan bagi dipulihkannya keadilan melalui prosedur yang tertib dan sebagainya.
(6) Definisi dan kejernihan tentang status. Di samping fungsi hukum yang memberikan prediktabilitas dapat ditambahkan bahwa fungsi hukum juga memberikan ketegasan mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat.
Memperhatikan rumusan materi muatan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, tidak ada ketentuan pasal yang secara tersurat mengatur mengenai perlindungan hak merchandising. Pengaturan yang ada dan berkaitan dengan perlindungan hak yaitu Pasal 12 ayat (1) huruf l, dan ketentuan lainnya yang bersifat umum yaitu: jenis ciptaan yang dilindungi, jangka waktu perlindungan, juga mengenai penyelesaian pelanggaran hak cipta dari aspek keperdataan dan penyelesaian pelanggaran hak cipta dari aspek pidana, dan ketentuan lainnya.

BAB II
PERAN HUKUM HAK CIPTA DALAM MENUNJANG
INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA

A. Perlindungan Hukum Hak Merchandising Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Dapat Menunjang Peningkatan Industri Kreatif
Dalam hal menyangkut benda-benda fungsional ini nampak sekali, para pemodal yaitu mereka yang dengan modal karya ciptanya dapat mengeksploitasinya secara maksimal bahkan dengan kekuasaannya dapat mempengaruhi konsumen secara leluasa. Kondisi seperti itu diakui oleh Ignatius Haryanto, dengan mengutip pendapat dari Bettig, yaitu bahwa barang-barang bernilai budaya dan juga barang yang bernilai informasi ini ditransformasikan menjadi produk investasi dalam usaha perluasan modal, yang tak lebih kurang sama dengan perusahaan lain yang mengurusi real estat, saham, lisensi, dan lain-lain.
Meskipun dalam hal tertentu mereka pemilik/pemegang hak merchandising ini mempunyai kekuatan yang besar, tetapi dilain pihak apabila tidak dilindungi secara baik oleh hukum mereka akan menjadi lemah karena banyaknya pesaing curang yang mendompleng atau membajak karya cipta mereka. Dengan demikian mereka sangat memerlukan perlindungan hukum. Perlindungan hukum dalam bidang kekayaan intelektual yaitu untuk mengatur kepentingan pihak yang terkait didalamnya, melindungi kepentingan umum dalam hal ini kepentingan negara, dan melindungi kepentingan sosial masyarakat banyak pada umumnya, serta yang terutama untuk kepentingan pribadi si pencipta, atau si penemu (inventor). Dalam posisi demikian, maka hukum berdiri dalam rangka menegakkan suatu ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
Mengacu kepada perlunya perlindungan tersebut, maka salah satu pertimbangan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu peningkatan perlindungan bagi pencipta, dan pemilik hak terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Hukum diciptakan untuk dijalankan, dan ketentuannya hanya dapat dirasakan memberikan manfaat apabila dilaksanakan semua pihak. Gambaran itu menunjukkan bahwa hukum tidak dapat bekerja atas dasar kekuatannya sendiri, ada ketergantungan kepada pihak tertentu seperti pihak yang diatur maupun aparat hukumnya. Memperhatikan kondisi demikian, maka pihak yang berkepentingan pun haruslah aktif juga, artinya menyangkut perlindungan hak cipta maka pihak terkait dengan industri kreatif harus aktif pula melindungi dirinya sendiri.
Keadaan demikian memang disadari oleh pelaku industri kreatif, karena mereka telah banyak dikecewakan oleh pemerintah. Para industri kreatif (perajin perak di Bali) kecewa terhadap pemerintah yang kurang proaktif dalam melindungi produk lokal. Ketika ada kasus di pengadilan dan ratusan orang meminta perlindungan, baru pemerintah dan wakil rakyat seperti tersadar dan bergerak. Ikapi sebagai organisasi penerbit buku juga sering mengalami kekecewaan, terutama saat menangani kasus pembajakan, yaitu kasus pembajakan sering menguap di tangan para penegak hukum, atau bahkan para penegak hukum itu sendiri memperlihatkan ketidakmengertiannya akan arti hak cipta, situasi demikian sama sekali tidak mendorong kegairahan untuk mencipta.
Gambaran kekecewaan pelaku industri kreatif menunjukkan tidak terlindunginya usaha mereka, menyebabkan kerugian usahanya, artinya mereka sangat memerlukan perhatian, dan perlindungan secara hukum, agar perkembangan industri kreatif semakin meningkat.
Dalam rezim hukum hak cipta bahwa hak itu otomatis dimiliki tanpa ada peran pihak negara, tidak seperti kepemilikan hak merek yang baru ada setelah merek itu didaftarkan, dan dicatat dalam buku merek di lembaga pemerintah yang mengurusnya. Dengan demikian keberadaan hak cipta tidak didasarkan pendaftaran, oleh karena itu guna memaksimalkan perlindungan hak cipta yang dimiliki lebih baik apabila haknya didaftarkan pada kantor Hak Kekayaan Intelektual setempat, di lokasi yang pendaftaran hak cipta dapat dilakukan dengan sukarela, serta menempelkan pemberitahuan hak cipta pada setiap karya yang didaftarkan.
Rangkaian uraian di atas menjelaskan konsep-konsep perlindungan hukum dan landasan perlunya perlindungan hak cipta tersebut. Hak cipta diberikan untuk memberi rangsangan kepada para pencipta. . Sehingga akhirnya dirasakan nampak bahwa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dapat memberikan peran, dan sarana untuk menunjang kehidupan industri kreatif.
B. Praktik Pemilik/Pemegang Hak Merchandising Dalam Melindungi Hak Yang Dimiliki Atau Dipegangnya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Hukum diciptakan untuk dijalankan, dan ketentuannya hanya dapat dirasakan memberikan manfaat apabila dilaksanakan semua pihak. Gambaran itu menunjukkan bahwa hukum tidak dapat bekerja atas dasar kekuatannya sendiri. Dengan demikian maka, ketentuan akan apapun baiknya, apabila pihak yang terkait dengan peraturan perundang-undangan tidak menjalankannya atau menggunakannya, maka ketentuan tersebut hanya sebatas rangkaian kata saja.
Memperhatikan begitu besarnya peran, pihak yang berkepentingan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka penulis membahas praktik para pemilik/pemegang hak dalam melindungi haknya. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak merchandising yang dimiliki atau dipegangnya, maka orang-orang yang mengalami gangguan tersebut akan mencari jalan untuk dapat memulihkan hak-hak atau kepentingannya. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, meskipun ketentuannya tidak secara langsung namun telah memuat ketentuan yang umum untuk menjadi alasan kepada pemilik/pemegang hak merchandising untuk memulihkan hak-hak atau kepentingannya dengan mengajukan:
1. Gugatan Perdata.
Pemilik/pemegang hak cipta berhak untuk mengajukan ganti rugi ke Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta dan dapat meminta penyitaan terhadap benda hasil pelanggaran hak cipta (a quo hak merchandising), dengan membayar sejumlah nilai benda (merchansdise) yang diserahkan oleh pihak yang beritikad baik. Hakim berdasarkan keyakinan selama pemeriksaan dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan perbanyakan merchansdise, untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar.
2. Tuntutan Pidana
Dengan adanya hak untuk mengajukan gugatan perdata oleh pemegang hak tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana atas pelanggaran hak cipta itu. Adanya ancaman pidana itu adalah sebagai salah satu upaya penangkal pelanggaran hak cipta, serta untuk lebih melindungi pemegang hak cipta juga memungkinkan penahanan sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Berdasarkan Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu:
a. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing- masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau enjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ketentuan di atas sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, sejatinya ditujukan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pencipta atau pemegang hak cipta, namun dirasakan kenyataannya belum dapat terwujud. Dalam sebuah seminar, praktisi hak kekayaan intelektual, Justisiari P Kusumah menegaskan bahwa upaya perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia tidak cukup dengan menyerahkan perlindungan kepada aparat atau sistem hukum yang ada, tetapi perlu langkah-langkah non-legal. Langkah itu di antaranya adalah pemberian informasi mengenai kepemilikan hak kekayaan intelektual oleh pemilik hak, survei lapangan, peringatan kepada pelanggar, dan sebagainya. Selain langkah tersebut di atas, ada juga tindakan pemilik/pemegang hak merchandising dengan menempelkan hang tag sebagai salah satu upaya untuk memberantas praktek pembajakan, sebagaimana dilakukan oleh PT Arema, untuk mengurangi pembajakan dan beredarnya merchansdise yang tidak membayar royalty.
Upaya perlindungan seperti itu dilakukan mereka karena, berdasarkan praktik, belum begitu memasyarakatnya hak kekayaan intelektual menyebabkan perlindungan yang diberikan pemerintah belum optimal. Menyiasati kondisi tersebut maka untuk itu pemilik hak melakukan langkah-langkah non-legal untuk menegaskan kepemilikan haknya, dan juga menegaskan kepada pihak-pihak lain bahwa mereka akan mengambil tindakan yang tegas terhadap segala upaya penggunaan atau pemanfaatan secara tidak sah atas haknya tersebut. Langkah tersebut secara ekonomi lebih banyak ditempuh karena belum baiknya perlindungan yang diberikan oleh negara, upaya penegakan hukum hak kekayaan intelektual di Indonesia ini. masih tidak sesuai dengan konsep cepat dan berbiaya ringan, sehingga dalam praktik sering ditemukan iklan permohonan maaf dari para pelanggar hak kekayaan intelektual seperti pelanggar hak cipta, merek maupun desain industri tersebut.
Langkah pemuatan iklan permohonan maaf dari pelanggar hak pihak lain, itu dilakukan biasanya melalui negosiasi. Pemilik/pemegang hak merchandising biasanya langsung menghubungi pihak pembajak atau penjual barang bajakan, dan selanjutnya dibujuk untuk berunding. Praktik ini telah dilakukan Disney Consumer Product Int di Indonesia, pada tahun 1993, manajer pemasarannya melakukan bujukan kepada para pembajak, pertama kali dengan melancarkan pengumuman lewat iklan dan diberi kesempatan untuk berunding. Langkah yang dipraktikan oleh Disney Consumer Product Int di Indonesia, menggambarkan bahwa mereka setelah melihat sebuah pelanggaran atas hak ciptanya, maka dilakukan dengan memulainya mengirim surat (yang disebut “cease dan desist letter”) kepada para pelanggar yang diduga, yang mana menginformasikan adanya kemungkinan timbul sebuah konflik. Menurutnya, membujuk agar mau diajak bekerja sama dan mentaati hukum bagi kami lebih efektif dari pada menindaknya.
Tindakan para pemilik hak cipta untuk melindungi haknya yang tidak mendasarkan kepada peraturan sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan apabila dalam sistem peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan efisiensi secara ekonomi, maka ketentuan tersebut akan ditinggalkan. Oleh karena itu sistem itu harus senantiasa diusahakan agar dapat menampung idea-idea baru serta disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang berubah apabila ia hendak memperoleh tingkat efisensi yang setinggi-tingginya. Dalam hubungan ini hukum dapat membantu dengan menarik lembaga-lembaga yang tidak sesuai lagi itu serta menciptakan lembaga-lembaga baru yang dikehendaki, artinya mengingat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, belum ada pengaturan hak merchandising maka, dalam revisi undang-undang yang akan datang harus diatur hak merchandising secara baik.
Semua uraian praktik tersebut di atas menunjukkan adanya peranan positif yang dapat dimainkan oleh hukum, dengan tetap mengedepankan ukurannya yaitu kepentingan dunia usaha itu sendiri. Peranan hukumnya nampak dari cara melakukan penciptaan lembaga hukum baru yaitu pengaturan hak merchandising yang lebih tersurat dalam Undang-Undang Hak Cipta yang baru tersebut. Dengan demikian maka dengan lahirnya peraturan perundang-undangan yang baru, sekaligus menunjukkan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut mengamankan hasil-hasil yang diperdapat oleh kerja dan usaha pencipta merchansdise.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, telah memberikan perlindungan kepada pemilik.pemegang hak cipta meskipun belum secara kuat, hal itu diantaranya terlihat pada ketentuan untuk menuntut jika terjadi pelanggaran terhadap hak cipta (a quo hak merchandising). Dalam kondisi ini menunjukkan adanya peranan positif yang telah dimainkan oleh hukum, dengan mengamankan hasil-hasil yang didapat oleh kerja dan usaha pencipta merchansdise. Perlindungan yang efektif dari hak cipta akan mendorong pengembangan dari pembangunan industri kreatif
2. Tindakan para pemilik hak cipta untuk melindungi haknya yang tidak mendasarkan semata kepada peraturan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dilandasi beberapa sebab, yaitu:
a. apabila dalam sistem peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan efisiensi secara ekonomi, maka ketentuan tersebut akan diabaikan atau bahkan ditinggalkan karena ketentuannya sudah tidak dapat menampung ide-ide baru serta kondisi-kondisi yang berubah;
b. belum baiknya perlindungan yang diberikan oleh negara, seperti terlihat dalam upaya penegakan hukum hak kekayaan intelektual yang lama dan mahal, hal demikian diperparah dengan kurang responsifnya pemerintah atas kasus-kasus hak cipta yang menimpa pelaku industri kreatif skala kecil, pemerintah dirasakannya kurang proaktif dalam melindungi produk lokal.
B. Saran
1. Industri kreatif merupakan salah satu pilar utama dalam mengembangkan sektor ekonomi yang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian pemerintah harus mendorong, dan mempermudah bagi pelaku industri kreatif untuk mendaftarkan ciptaannya, serta segera untuk mendata dan mendaftarkannya kekayaan budaya bangsa seperti ragam hias, dan ukiran asli Indonesia, agar tidak didaftarkan oleh pihak asing sebagaimana telah terjadi di Bali, dan Jepara, dimana ragam hiasnya didaftarkan oleh pihak asing.

2. Pemerintah perlu terus meningkatkan sektor industri kreatif secara ekonomi, juga peningkatan dalam hal perlindungan aspek hak kekayaan intelektual. Dalam rangka upaya itu, maka Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian sebelumnya perlu menyiapkan pemetaan permasalahan industri kreatif baik yang menyangkut aspek hukumnya, maupun aspek ekonomi secara menyeluruh agar mudah menjalankan kegiatan pembinaannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Adi Sulistiyono, 2007, Pembangunan Hukum Ekonomi Untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret..
Ignatius Haryanto, (2002). Tinjauan Ekonomi Politik Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual Penghisapan Rezim HAKI, Cetakan pertama, Jakarta: debt-Watch Indonesia.
Masayasu Ishida, 2001, Character and Merchandising Rights, Japan Patent Office.
Muhamad Djumhana, dan R. Djubaedilah, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Cetakan Ketiga, Bandung, Citra Adtya Bakti.
Paul Goldstein, 1997, Hak Cipta Dahulu, Kini dan Esok, terj. Masri Maris, Cetakan pertama, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Cetakan ketiga, Bandung, Angkasa.
Tamotsu Hozumi, 2006, Asian Copyright Handbook Buku Panduan Hak Cipta Asia Versi Indonesia (terjemahan Masri Maris), Cetakan pertama, Jakarta, Asia/Pasifik Cultural Centre for UNESCO dan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi).
World Intellectual Property Organization, Ekspresi Kreatif, Pengantar Hak Cipta dan Hak Terkait untuk Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta, Komite Tetap Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia).

B. Paper, Jurnal, Majalah
Ahmad Haydar, Peranan Polri dalam Penegakan Hukum di bidang Hak Cipta, Media HKI Vol.. IV/No.4 /Agustus 2007.
Edi Irawan, Penguatan Fondasi Dan Pilar Subsektor Seni Musik Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif, Media HKI Vol.. IV/No.4 /Agustus 2008.

Ignatius Haryanto, Mengurai Hak Cipta Ketegangan antara Moda Produksi dan Moda Distribusi, Kompas, Jumat, 01 Agustus 2003.
C. Surat Kabar, Internet
Hanum Oktavia Rosyidah, Tak Punya Sponsor Arema Indonesia Patenkan Logo, http://aremasenayan.com/2010/03/22/tak-punya-sponsor-arema-indonesia-patenkan-logo.php, diakses pada tanggal 17 April 2010.
Shabhi Mahmashani, Membangun Citra Positif Hak Kekayaan Intelektual HKI-Sebagai Satu Sistem Perlindungan Ide, http://pusathki.uii.ac.id/news/artikel-terbaru/membangun-citra-positif-hak-kekayaan-intelektual-hki-sebagai-satu-sistem-perlindungan-ide.html, diakses pada tanggal 17 April 2010.
Suara Pembaruan (28 Oktober 2004).
http://dgi-indonesia.com/news-kisah-sedih-dari-bali/ diakses pada tanggal 17 Mei 2010, jam 17.00 WIB.
Berbagai Sudut Pandang Tentang Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif, http://ekonomikreatif. blogspot.com/2008/04/berbagai-sudut-pandang-tentang-ekonomi.html, diakses pada tanggal 1 Agustus 2010, jam 19.00.
Studi Mapping Industri Kreatif Indonesia versi Departemen PerdagangaRI, http://industrikreatif-depdag.blogspot.com/, diakses pada tanggal 1 Agustus 2010, jam 19.00.
D. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Minggu, 17 Oktober 2010

Tanggung Jawab Produk

TANGGUNG JAWAB PRODUK DESAIN INDUSTRI
DIKAITKAN DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
DI INDONESIA




Oleh:
Muhamad Djumhana


















BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Penelitian
Konsumen mobil pada akhir tahun 2009 dikejutkan dengan berita, dan pengumuman dari pabrikan mobil Toyota, yang akan menarik ribuan mobil dengan tipe tertentu dikarenakan telah ditemukannya cacat produksi pada mobil keluaran mereka. Berita tersebut menyentak ribuan konsumen di beberapa negara, mereka tidak tahu bahwa selama itu mereka mengendarai mobil yang dapat mencelakai dirinya karena cacat produksi.
Dalam konsep hukum perlindungan konsumen sekarang ini, suatu penarikan produk yang dianggap memiliki cacat produksi merupakan sebuah tanggung jawab dari produsennya. Langkah penarikan produk yang cacat seperti itu langkah terbaik dari produsen dibandingkan mereka menunggu gugatan dari konsumen setelah mengetahui adanya cacat produksi karena adanya kecelakaan yang merugikan konsumen. Penarikan produk yang cacat memang akan menimbulkan kerugian yang cukup besar, namun masih lebih kecil apabila mereka menghadapi gugatan konsumen karena adanya kecelakaan yang disebabkan cacatnya suatu produksi.
Penarikan produk yang cacat serta pemberian kompensasi kepada konsumen sudah menjadi konsekuensi dari pihak produsen. Konsekuensi tersebut pada pihak produsen pasti akan dicari pihak yang harus bertanggung jawab secara internalnya. Penanggung jawab atas kejadian tersebut akan dicari, dan diselusuri, pihak manakah yang paling besar andilnya.
Dalam kasus penarikan mobil toyota ini, mengemuka bahwa terindikasi desain dari peralatan otomatis jendela dapat mengakibatkan hubungan pendek apabila kena limpasan air sewaktu hujan. Hal demikian menyiratkan bahwa ada sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan dari hasil suatu rancang bangun seorang perancang produk industri (desainer industri). Sehubungan dengan kejadian tersebut penulis tertarik untuk membahas mengenai kejadian tersebut, khususnya menyangkut pihak internal yang harus bertanggung jawab atas suatu rancangan peralatan atau hasil rancang bangun suatu desain industri.
Kenyataan sering menunjukkan bahwa hasil rancang bangun dari desain industri mengandung potensi bahaya tertentu yang dapat merugikan pemakainya, ataupun akibat sampingan atas penggunaan barang tersebut yang sebelumnya tidak terduga atau tidak terantisipasi pada saat dirancangnya produk tersebut. Usaha pencegahan biasanya dilakukan dengan mengeluarkan peraturan, pembatasan, penyempurnaan desain, dan apabila tidak berhasil maka demi keamanan masyarakat perlunya pelarangan penggunaan hasil rancang bangun tersebut.
Uraian di atas apabila disimak menggambarkan begitu pentingnya kebutuhan hukum untuk melandasi hal-hal yang berkaitan dengan hasil dan pemanfaatan suatu rancang bangun serta perlindungan konsumen. Memperhatikan kondisi tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai sejauh manakah tanggung jawab profesional seorang desainer atas rancangan yang dihasilkannya setelah melalui proses produksi massal, sehubungan dengan hal itu maka penulis mengambil judul makalah ini yaitu “Tanggung Jawab Produk Desain Industri Dikaitkan Dengan Perlindungan Konsumen di Indonesia”.
B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan sebelumnya maka dapat diajukan beberapa pembatasan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tanggung jawab seorang desainer terhadap rancangannya yang telah diproduksi massal?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen atas cacat produk dari hasil suatu rancangan yang telah diproduksi massal?
C. Kerangka Pemikiran
Perangkat hukum desain industri di Indonesia, nampaknya sudah cukup baik, dan lengkap tidak terbatas hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hak kekayaan intelektual seperti Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, melainkan juga diatur dalam peraturan perundang-undangan lain yang tidak secara khusus berkaitan langsung dengan desain industri misalnya dalam: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Seperangkat peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan pihak-pihak yang terkait di bidang desain industri, dengan maksud untuk peningkatan kemampuan rancang bangun, perekayasaan dan penelitiannya, yang memenuhi standar mutu, dan kesehatan, serta mampu melindungi konsumen.
Pengaturan hukum dalam perancangan produk diperlukan karena teknologi industri menuntut lahirnya suatu sistem perencanaan teknis secara total dan akurat yang dapat menghasilkan rancangan produk dan produknya yang aman dan ramah lingkungan. Hukum dengan sistemnya memberikan dukungan terhadap hal itu, sebagai suatu contoh: ketentuan yang mengatur penerapan teknologi tidak boleh merugikan kepentingan umum; produk teknologi harus ramah lingkungan; penghargaan kepada pihak yang telah memberikan kemampuannya untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengakui hasil intelektualnya sebagai kekayaan yang dilindungi secara hukum; dan juga terjaganya profesi desainer; serta terlindunginya konsumen dalam memanfaatkan rancangan produk dan produknya.
Aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan desain produk sebagaimana diuraikan di atas, berpijak dari kenyataan bahwa hampir semua produk yang beredar dipasaran sampai dimanfaatkan oleh konsumen bermula dari hasil rancang bangun yang ditindaklanjuti dengan produksi massal kemudian diedarkan oleh pedagang dan terakhir sampai kepada konsumen. Dalam rantai tersebut, sesuai dengan judul makalah, dan identifikasi masalah, maka penulis akan membatasi pembahasan tanggung jawab produk hanya kepada tanggung jawab profesi desainer, serta terkait hubunganya dengan perlindungan konsumen. Sehubungan dengan hal itu perlu dipahami mengenai doktrin tanggung jawab profesi, tanggung jawab produk, dan perlindungan konsumen.
Desainer industri merupakan profesi perekayasa dibidang industri khususnya dalam rancang bangun. Dalam kaitan dengan tanggung jawabnya maka penulis melihat mereka sebagai rekayasawan, oleh karena itu dengan mengacu kepada pendapatnya Mike W. Martin dan Roland Schinzinger, maka seorang rekayasawan memiliki kewajiban menyangkut keselamatan (dan kewajiban lain) profesinya, berdasarkan kepada:
1. hukum yang berlaku yang menghendaki mereka agar melaksanakan kewajiban ini;
2. kode etik komunitas (organisasi profesi);
3. perjanjian antara desainer (perancang) dengan pihak lainnya seperti perusahaan atau pihak pemberi tugas atau klien lainnya.
Uraian di atas menjelaskan adanya tanggung jawab atau kewajiban profesi yang diemban oleh mereka para desainer industri. Kewajiban profesi dengan sendirinya berkaitan dengan tanggung jawab profesi terhadap malpraktek yang dilakukannya saat menjalankan profesinya, dimana tanggung jawab tersebut bersifat pribadi. Artinya kewajiban itu berdasarkan keahlian dan tugas pokok fungsi yang diembannya.
Dalam kehidupan profesi yang telah mapan secara pasti akan dilandasi suatu standar tindakan (code of conduct) serta kode etik profesi. Standardisasi seperti itu diantaranya bertujuan untuk menilai seseorang dalam menjalankan profesinya, juga terkait dengan masalah pertanggungjawaban hukum atau liability apabila bersinggungan dengan kepentingan pihak konsumen maupun pihak lainnya.
Ikatan hukum yang terbentuk antara konsumen maupun pihak lainnya dengan seorang profesional karena adanya perjanjian pelayanan jasa tertentu. Dalam pelayanan jasa perancangan maka seorang desainer dengan kliennya terikat karena perjanjian, dimana desainer sebagai pihak yang memberikan jasa untuk menghasilkan suatu rancangan, dan sebaliknya klien merupakan pihak yang memesan suatu rancangan. Dalam konstruksi adanya ikatan seperti itu maka, pihak desainer sebagai produsen, dan pihak klien berada pada posisi sebagai konsumen. Dikaitkan dengan pertanggungjawabannya, maka desainer pada posisi yang mengemban tanggung jawab produksi, sedangkan klien pihak yang memerlukan perlindungan sebagai konsumennya.
Konsep tanggung jawab produk bermula dari bidang perasuransian di Amerika Serikat yang selanjutnya berkembang lebih luas mencakup semua produk baik barang maupun jasa yang dapat dikonsumsi konsumen. Adapun makna, dan pengertian dari tanggung jawab produk (product liability), diantaranya dapat dibaca dalam Black’s Law Dictionary, sebagai berikut:
product liability,
1. A manufacturer’s or seller’s tort liability for any damages or injuries suffered by a buyer, user, or by stander as a result of a defective product.
Products liability can be based on a theory of negligence, strict liability, or breach of warranty.
2. The legal theory by which liability is imposed on the manufacturer or seller of a defective product.
3. The field of law dealing with this theory.

Tanggung jawab produk sebagaimana diuraikan di atas menyangkut produsen, atau penjual untuk bertanggung jawab karena perbuatannya yang melawan hukum, sehingga pihak pembeli, pengguna mengalami kerugian atau kecelakaan. Dalam konsep hukum Indonesia, pengertian tanggung jawab produk atau product liability masih tergolong baru. Mengingat doktrin tersebut masih baru maka istilahnyapun belum begitu seragam, Az. Nasution menerjemahkannya sebagai tanggung gugat produk.
Meskipun terminologi tanggung jawab produk atau product liability tergolong baru, namun menyangkut konsep tanggung jawab hukum pasti sudah ada sejak hukum berlaku. Neni Sri Imaniyati, dengan mengacu kepada pendapatnya dari Toto T. Suriaatmadja, menguraikan bahwa:
Secara umum dalam ilmu hukum dikenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault, liability based on fault principle), prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebattable presumtion of liability principle), dan prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability, strict liability, absolut liability principle).

Selanjutnya Neni Sri Imaniyati, mengutif uraiannya Toto T. Suriaatmadja yang menjelaskan bahwa cara membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut dapat didasarkan pada hukum acara melalui kewajiban pembuktian, yaitu dengan melihat pada ada atau tidak adanya kewajiban membuktikan dan siapa yang harus membuktikan dalam proses tuntutan.
Dalam rangka perlindungan konsumen semua doktrin tanggung jawab hukum serta khususnya tanggung jawab produk, yaitu untuk melindungi konsumen. Pengaturan tanggung jawab sebagaimana diuraikan di atas, pada dasarnya mempunyai maksud dan tujuan sebagaimana diuraikan Rahmadi Usman dalam tesisnya, yang mengutif pendapatnya Barry M. Mitnick dalam bukunya “The Political Economy of Regulation”, yang mengemukakan empat teori kepentingan dalam regulasi (hukum) di bidang ekonomi, yaitu:
Pertama, consumer protection theory (teori perlindungan konsumen), bahwa suatu peraturan dibuat dengan tujuan untuk melindungi konsumen dari suatu produk atau kegiatan konsumen. Kedua, industry protection theory (teori perlindungan kepentingan industri atau pelaku usaha), bahwa suatu peraturan dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan produsen dari suatu produk atau kegiatan. Dalam hal ini industri atau perwakilan atau asosiasinya merupakan pihak yang berusaha membentuk peraturan perundang-undangan. Ketiga, bureacratic behavior theory (teori kepentingan birokrasi atau pemerintah). Teori ketiga ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu maintanance theory, yang mempertahankan status quo pelayanan birokrasi dan expansion theory yang merupakan bentuk pelayanan yang terbaik dari birokrasi yaitu dengan memperluas wewenang dan mandat dalam pelayanan. Keempat, public interest theory (teori kepentingan publik), bahwa suatu peraturan perundang-undangan dibuat untuk memperhatikan atau menjaga keseimbangan dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Termasuk dalam tujuan pembentukan peraturan adalah tujuan nasional untuk pembangunan wilayah atau bidang tertentu untuk kepentingan masyarakat tertentu.

Memperhatikan uraian di atas menunjukkan bahwa perangkat hukum yang ada mempunyai maksud, dan tujuan tertentu hal itu juga berlaku pada perangkat hukum konsumen. Sebagaimana tercantum dalam diktum menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hukum perlindungan konsumen diantaranya mempunyai maksud untuk mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.



BAB II
TANGGUNG JAWAB DESAINER ATAS RANCANGANNYA
DIKAITKAN DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
A. Tanggung Jawab Desainer Terhadap Rancangannya
Aspek keamanan, dan keselamatan manusia dalam merancang dan memproduksi suatu benda harus menjadi fokus utama seorang desainer. Di lain pihak mereka secara profesi berkewajiban pula untuk selalu memperhatikan unsur keamanan, dan keselamatan konsumen/klien serta pihak-pihak yang terkait dengan rancangannya. Semua kewajiban yang melekat pada mereka selain berdasarkan kewajiban moral, juga berpijak kepada kewajiban hukum untuk selalu menghargai dan melindungi pihak-pihak masyarakat secara luas. Berdasarkan kewajiban tersebut maka semua pihak yang cakap secara hukum mempunyai tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, begitu dengan seorang desainer.
A.1 Tanggung Jawab Produk dan Tanggung Jawab Profesional Desainer
Tanggung jawab seorang desainer dalam hubungannya dengan konsumen atau klien, harus dilihat kedudukannya. Hal itu harus diperhatikan karena desainer industri dapat menduduki dua posisi yaitu:
1. pada saat dia hanya menjalankan profesinya sebagai pemberi jasa perancangan maka tanggung jawab yang melekat yaitu tangggung jawab profesional; sedangkan
2. pada saat dia tidak hanya sebagai pemberi jasa melainkan juga memproduksi benda yang dirancangnya (sebagai produsen), maka tanggung jawab yang melekat padanya yaitu tanggung jawab produk.
Tanggung jawab produk demikian sejalan dengan pendapatnya John Cooke, bahwa: after a product is manufactured and put into circulation, liability is governed primarily by the chain of contracts between the manufacturer and the ultimate users.
Desainer dalam kedudukan sebagai pemberi jasa maupun sebagai produsen dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha, dengan demikian mempunyai kewajiban (code conduct) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut:
1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
5. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
6. memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Ketentuan pengaturan kewajiban pelaku usaha (code conduct) sebagaimana dikutif di atas, merupakan salah satu batu uji seorang desainer dalam menjalankan profesinya, artinya apabila seorang desainer tidak menjalankan kewajibannya (code conduct) maka dia tidak menjalankan profesi secara benar.
Konsekuensi selanjutnya dari tidak dijalankannya profesi secara benar maka dapat diduga telah terjadi malpraktik, dan hal tersebut harus dipertanggungjawabkan apabila ada pihak yang merasa dirugikan. Di Indonesia ketentuan yang mengatur pertanggungjawaban diantaranya diatur dalam Pasal 1365-1367 KUH Perdata. Hal itu meliputi pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum, dan membawa kerugian kepada orang lain, baik karena perbuatan sengaja maupun karena kelalaian baik oleh pribadi tergugat maupun orang lain yang masih dalam tanggungan pihak tergugat. Adapun untuk pertanggungjawaban berdasarkan perjanjian, hanya dapat dilakukan antar pihak yang terkait dalam hubungan hukum langsung berdasarkan perjanjian.
Tanggung jawab yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, sebagaimana diuraikan di atas pada prinsipnya tanggung jawab berdasarkan kesalahan, selain unsur lainnya yaitu adanya perbuatan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kasualitas antara kesalahan denan kerugian. Dengan demikian maka apabila konsumen akan mendasarkan kepada Pasal 1365 ini, dia harus dapat membuktikan bahwa kesalahan benar-benar telah dilakukan oleh pelaku usaha, sehingga jika tidak terbukti maka pelaku usaha dapat lepas dari tanggung jawab.
Berbeda sekali dengan pertanggungjawaban atas adanya perjanjian, hal itu menunjukkan adanya tanggung jawab terbatas, konsekuensinya tuntutannya pun terbatas sebagaimana diperjanjikan (limitation of contract claims). Hal itu seperti diuraikan oleh Robert Bradgate, dalam bukunya Commercial Law, yaitu bahwa: The main restriction on the effectiveness of contractual liability under the implied terms is the doctrine of privity against the other party to the contract. Pertanggungjawaban berdasarkan perjanjian (contractual liability) terus berkembang dan menganut pandangan bahwa di dalam perjanjian senantiasa terkandung implied terms tentang kewajiban hati-hati dari pelaku usaha, hal itu melawan pandangan teori privity contract. Konsekuensinya dalam kasus cacat produk, yaitu bahwa pada produsen melekat kewajiban hati-hati di dalam proses produksi termasuk kewajibannya untuk menguji (test) atas komponen dari produsen lain yang digunakan di dalam produknya. Kelalaian melakukan kewajiban merupakan negligence dan sanksi atas pelanggaran kewajiban itu tidak dapat dihindari oleh produsen dengan alasan ketidakadaan privit of contract. Pihak yang dapat mengugat ganti rugi selain pihak yang merupakan pihak dalam kontrak, juga pihak ketiga yang sama sekali merupakan pihak di dalam kontrak.
Selain ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata, pengaturan tanggung jawab juga diatur pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diantaranya yaitu:
Pasal 19
(1). Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3). Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4). Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5). Ketentuan sebagamana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Ketentuan di atas mengisyaratkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tanggung jawab produk dan tanggung jawab profesional, artinya peraturan perundang-undangan tersebut menjadi dasar menumbuhkembangkan pelaku usaha yang bertanggung jawab (caveat venditor).
Menyangkut tanggung jawab bagi pelaku usaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdapat beberapa pendapat, yaitu bahwa:
1. menurut Johannes Gunawan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menganut doktrin strict liability (tanggung jawab mutlak) dari sudut pandang civil law dengan pengalihan beban pembuktian (shifting the burden of proof) “unsur kesalahan” pada pelaku (usaha), jadi menurutnya “unsur kesalahan” tersebut dipersangkakan kepada pelaku (presumption of fault);
2. menurut Inosentius Samsul, menyimpulkan bahwa hukum perlindungan konsumen Indonesia (Pasal 19 jo. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) belum menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak tetapi sudah sampai pada tahap modifikasi terhadap prinsip tanggung jawab mutlak berdasarkan kesalahan, yaitu prinsip praduga lalai (presumtion of negligence) dan praduga bertanggung jawab (presumption of liability principle) dengan pembuktian terbalik. Konstruksi tersebut mengambarkan kemajuan dari sistem tanggung jawab sebelumnya, tetapi belum sepenuhnya menganut prinsip tanggung jawab mutlak.
Meliha adanya dua pendapat yang berbeda, serta bahwa dalam pertanggungjawaban profesional ternyata antara pelaku usaha profesi jasa dengan pelaku usaha di bidang barang disamakan ketentuannya, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih mengandung kelemahan. Hal itu wajar, karena Undang-Undang apapun tidak ada yang sempurna. Tidak mungkin mengatur segala aspek kehidupan manusia secara tuntas. Hukum bukan sesuatu yang statis. Hukum adalah bagian dari masyarakat yang berkembang.
Kembali kepada dua pendapat mengenai pertanggungjawaban tersebut di Indonesia khususnya sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, nampaknya pendapat Johannes Gunawan lah, yang perlu terus diperkuat dan diterapkan di Indonesia, hal itu memudahkan konsumen sebab beban pembuktian berada pada pengusaha. Hal demikian dapat dipandang sebagai wujud nyata dari maksud dan tujuan perlindungan konsumen yang pada dasarnya mereka biasanya lebih lemah kedudukannya dari pada pelaku usaha. Kondisi seperti itu juga terlihat dari diperkenalkannya doktrin atau teori tanggung jawab mutlak tersebut, yang diuraikan oleh Robert Bradgate, The need to prove negligence in order to recover damages from the manufacturer if a defective product can pose difficulties for the injured claimant.
Desainer selain mengemban tanggung jawab produk sebagaimana telah diuraikan di atas, juga mengemban tanggung jawab profesional (professional liability). Menurut Black’s Law Dictionary, profesi adalah: A vocation or occupation requiring special, usually advanced, education, knowledge, and skill; e.g. law or medical profession. Pengertian lainnya mengenai profesi, yaitu pekerjaan yang dijalankan secara berkeahlian berdasarkan penguasan ilmu tertentu sehingga mampu menawarkan dan memberikan jasa bermutu tinggi yang sudah teruji secara iliah dengan bayaran tinggi sesuai dengan mutu karya dan hasilnya yang ditawarkan itu. Dalam pengertian ini maka profesi termasuk bidang kegiatan bisnis biasa. Pengertian di atas menunjukkan ciri dari profesi yaitu syarat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan khusus bagi pengembannya. Adapun yang dimaksud dengan pertanggungjawaban profesional, yaitu pertanggungjawaban dari pengemban profesi atas jasa yang diberikannya. Johanes Gunawan berpendapat bahwa:
Pertanggungjawaban profesional berdasarkan hukum meliputi pertanggungjawaban pengemban profesi terhadap kliennya dan/atau pertanggungjawaban pengemban profesi terhadap pihak ketiga atas jasa yang diberikannya.

Selanjutnya disebutkan bahwa dasar hukum pertanggungjawaban profesional terhadap klien yaitu berdasarkan hukum perjanjian atau berdasarkan hukum perbuatan melawan hukum, sedangkan terhadap pihak ketigak berdasarkan hukum tentang perbuatan melawan hukum.
Ketentuan pertanggujawaban profesional berdasarkan hukum perjanjian, dapat dirujuk pada Pasal 1601 KUH Perdata. Ketentuan tersebut mengatur bahwa perjanjian untuk melakukan pekerjaan dapat digolongkan menjadi: perjanjian untuk melakukan jasa; perjanjian kerja/perburuhan; dan perjanjian pemborongan. Dalam konteks perjanjian desainer dengan kliennya, terbentuk hubungan hukum yaitu desainer sebagai pemberi jasa, dan kliennya sebagai penerima jasa.
Guna memahami lebih lanjut atas tanggung jawab profesional berdasarkan hukum perbuatan melawan hukum, maka penulis akan mengutif uraian dari Johanes Gunawan sebagai berikut:
Tanggung jawab profesional berdasarkan hukum perbuatan melawan hukum dapat dimantakan oleh:
• Klien dalam arti bahwa klien selain dapat meminta tanggung jawab dari profesional berdasarkan hukum perjanjian, juga dapat menuntut pertanggungjawaban dari profesional berdasarkan hukum perbuatan melawan hukum.
• Pihak ketiga, dalam arti bahwa pihak ketiga yang menderita kerugian karena perbuatan profesional, dapat menuntut pertanggungjawaban dari profesional tersebut berdasarkan hukum perbuatan melawan hukum.
Dalam hal klien meminta pertanggungjawaban profesional atas dasar hukum perbuatan melawan hukum, maka syaratnya adalah:
1) Perjanjian antara klien dengan profesional adalah perjanjian yang didasarkan pada proses (inspanningverbintenis), bukan perjanjian yang didasarkan pada hasil (resultaatverbintenis). Dalam perjanjian yang didasarkan pada proses, maka prestasi profesional relatif tidak dapat diukur.
2) Terdapat hukum (norma, peraturan perundang-undangan) yang menetapkan bagaimana proses tersebut harus dilakukan oleh rofesional, misalnya kode etik, sumpah jabatan, peraturan jabatan dan lain-lain. Hukum ini yang dilanggar oleh profesional dalam memberikan jasa kepada kliennya.
3) Hukum yang dilanggar oleh profesional tersebut adalah hukum yang diaksudkan untuk melindungi klien.
Persyaratan di atas didasarkan pada Ajaran Relativitas atau sering disebut sebagai Schutznorm Theori yang menyatakan:
“Perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan karenanya melawan hukum, akan menyebabkan pelaku bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbauatan tersebut, bilamana hukum yang dilanggar itu bertujuan melindungi korban yang kepentingannya dilanggar”.
Dalam hal pihak ketiga meminta pertanggungjawaban profesional atas dasar hukum perbuatan melawan hukum, maka syaratnya adalah bahwa pihak ketiga tersebut bukan merupakan pihak di dalam perjanjian melakukan jasa oleh profesional. hal ini sesuai dengan prinsip bahwa apabila tidak terdapat privity of contract, maka pertanggungjawaban dapat diminta berdasarkan hukum perbuatan melawan hukum.

Pertanggungjawaban profesional dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, identik dengan pertanggungjawaban pelaku usaha barang.
A.2 Tanggung Jawab Desainer Atas Hasil Rancangan Setelah Diproduksi Massal

Konteks tanggung jawab desainer atas hasil rancangan setelah diproduksi massal, juga harus melihat kedudukan si desainer tersebut. Artinya apakah si desainer tersebut sebagai produsen yang langsung memproduksi rancangannya secara massal atau hanya sebagai pegawai dari perusahaan yang mempekerjakannya sebagai desainer, dan selanjutnya perusahaanlah yang memrproduksi rancangan desain industri tersebut secara massal. Konsekuensi kedudukan tersebut menyebabkan tanggung jawabnya berbeda jauh satu dengan lainnya.
Dalam kedudukan sebagai produsen, maka desainer mengemban tanggung jawab produk, artinya dia bertanggung jawab secara hukum karena menghasilkan suatu produk (desainer sebagai producer atau manufacture) atau sebagai pihak yang terkait dalam proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler). Tanggung jawab desainer atas pihak konsumen dalam kedudukannya sebagai produsen ini bersifat kontraktual (perjanjian atau berdasarkan undang-undang seperti gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum).
Dalam kedudukan sebagai pekerja, maka desainer tidak mempunyai tanggung jawab produk karena dia hanya sebagai pekerja dan yang bertanggung jawab produknya yaitu produsennya yang menghasilkan produk (producer atau manufacture). Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1367 ayat (1) yaitu bahwa Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. Dalam posisi ini desainer merupakan pihak yang menjadi tanggungan dari produsen, karena desainer sebagai pekerja yang berada di bawah pengawasan produsen. Meskipun demikian kesalahan seperti itu dapat dirujuk kepada apakah desainer tersebut melakukan malpraktik. Hal itu sejalan dengan uraian Angela Schneeman , bahwa pihak yang menjalankan pelaku usaha pribadi seperti dokter, ahli hukum dan profesi lainnya tanggung jawabnya berkaitan dengan malpraktik.
B. Perlindungan Hukum Konsumen Atas Cacat Produk Dari Hasil Suatu Rancangan Yang Telah Diproduksi Massal

Doktrin atau teori tanggung jawab produk dapat dipakai sebagai sarana untuk melindungi konsumen. Penerapannya dapat digunakan berdasarkan adanya kelalaian (negligence), tanggung jawab mutlak (strict liability) serta pelanggaran terhadap jaminan (breach of warranty). Memperhatikan beban pembuktiannya serta kedudukan konsumen yang masih banyak pada posisi yang lemah, maka tanggung jawab mutlaklah yang lebih kuat sebagai sarana pelindung konsumen. Hal itu sudah terbukti dari kasus-kasus di luar negeri, seperti kasus:
1. Di Amerika Serikat, investigasi Ralp Nader, seorang public interest lawyer yang mengabdi pada gerakan konsumerisme, sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar kecelakaan lalu lintas di Amerika Serikat sampai tahun 1960-an bukanlah karena human error dari pengemudi, melainkan karena cacat rancang bangun mobil. Hasil penyelidikannya berjudul Unsafe at Any Speed yang terbit pada tahun 1965 membuatnya berhadapan dengan General Motor (GM), produsen Ford Pinto. akhirnya pada tahun 1969, pemerintah melalui Federal Trade Commission (FTC) memerintahkan penarikan 4.900.000 unit kendaraan bermotor produksi General Motor (GM) dengan alasan cacat produk.
2. Parlemen Jepang pada 2 Juni 1994 telah menyetujui Product Liability Act 1994. Undang-Undang ini lebih memungkinkan konsumen untuk menerima ganti rugi yang dialaminya akibat produk cacat/rusak. Konsumen cukup membuktikan bahwa produk yang dikonsumsinya memang cacat dan mengakibatkan kerugian baginya. Sedang ada tidaknya kelalaian/kesalahan dalam proses produksi barang/jasa menjadi tanggung jawa pengusaha untuk membuktikannya.
Kasus-kasus di atas berkaitan dengan cacat produksi serta tanggung jawabnya, dan produsenlah yang menjadi fokus dari semuanya. hal itu sebagaimana diuraikan oleh Robert Bradgate, yaitu:
“...the manufacturer may be held liable for a failure to take care in design of the product, including a failure to carry out adequately careful reserarch; for a failure to carry out effective test, for a failure to provide an effective warning of dangers; or a failure to recall a product, or issues appropriate warning if a danger becomes apparent after the product has been put into circulation.”
Hal itu sejalan pula dengan pendapatnya John Cooke, bahwa after a product is manufactured and put into circulation, liability is governed primariliy by the chain of contracts between the manufacturer and the ultimate users. Gambaran di atas berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban produk khususnya penerapan strict liability (tanggung jawab mutlak) pada setiap pihak dalam mata rantai distribusi mulai dari (produsen sampai dengan pengecer. Hal itu dapat dilakukan karena tanggung jawab mutlak melandaskan diri pada konsep liability based on risk tidak melihat pada unsur keselahan, tetapi melihat pada unsur risiko yang menimbulkan kergugian, yang tetntu saja dapat ditimbulkan, baik oleh produsen maupun oleh semua pihak dalam mata rantai distribusi.
Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak ini maka semakin kuat perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen. Konsep tanggung jawab mutlak memberikan dasar hukum yang kuat bagi konsumen yang dirugikan untuk menggugat ganti rugi kepada produsen. Produsen sepenuhnya harus bertanggung jawab meskipun tanpa privity of contract (perjanjian yang langsung ), produsen bertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi produknya yang rusak. Bahkan dalam perkembangannya konsep itu lebih luas, yaitu bahwa pihak yang terlibat dalam mata rantai distribusi, namun tidak melakukan suatu kesalahan pun mempunyai tanggung jawab masing-masing. Jenis pertanggungjawaban semacam ini sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan.
Menurut Johanes Gunawan, pada masa ini seorang yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk yang rusak dapat menggugat ganti rugi kepada produsen, pemasok, atau juga orang yang mereparasi kerusakan barang tersebut, apabila ia dapat menunjukkan bahwa mereka telah lalai dalam mendesain, membuat, memasarkan, mencantumkan cara penggunaan dan peringatan pada produknya, atau mereparasi, baik ia sebagai pembeli, semata-mata pemakai, atau bakan sekedar pihak ketiga yang mengalami kerugian (injured bystander). Pendapat Johanes Gunawan seperti itu diperkuat dengan uraian selanjutnya:
pada tahun 1972 Inggris masuk menjadi anggota Masyarakat Eropa (European Community), dan pada tahun 1976 Komisi Eropa (European Commission) salah satu organ dalam organisasi Masyarakat Eropa menyusun konsep mengenai Direcitve on the Approximation of the Laws Regulations and Administrative Provisions of the Member States Concerning Liability for Defective Products, yang kemudian ditetapkan oleh Council of Ministers of the European Communities pada tanggal 25 Juli 1985. Berdasarkan Directive ini, seseorang yang dapat membuktikan bahwa ia cedera atau mengalami kerugian harta bendanya akibat kerusakan suatu produk yang telah ditempatkan di pasaran, maka ia dapat menguggat ganti rugi kepada produsen, pengimpor, pemasok yang menggunakan merek sendiri, atau pemasok produk tersebut, tanpa harus membuktikan adanya negligence pada pihak-pihak tersebut, tatau tanpa harus membuktikan bahwa tergugat telah menyebabkan kerusakan pada produk tersebut.

Adapun hukum yang saat ini berlaku di Indonesia, menurutnya bahwa pertanggungjawaban produk merupakan lembaga hukum yang relatif baru. Namun demikian, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah menganut pertanggungjawaban produk yang menggunakan strict liability sebagai derivasi dari tortious liability disertai pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan dari konsumen kepada pelaku usaha. Hal ini sejalan dengan tujuan perlindungan konsumen.

BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Seorang desainer industri mempunyai tanggung jawab produk maupun tanggung jawab profesional. Semuanya kewajiban untuk bertanggung jawab tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, meskipun belum nampak ada perbedaan pengaturannya karena pelaku usaha jasa profesional disamakan kedudukan sebagai pelaku usaha barang. Hal itu dapat menimbulkan keganjilan dalam prakteknya.
2. Ketentuan yang dapat menjadi sandaran perlindungan konsumen atas cacat produk dari hasil suatu rancangan yang telah diproduksi massal, diantaranya ketentuan yang mengatur bahwa konsumen jasa desain industri yang mengalami kerugian dapat menggugat desainer, dan produsen yang menimbulkan kerugian itu. Kualifikasi gugatan yang dapat diajukan kepada desainer tersebut berdasarkan kepada wanprestasi (default), atau perbuatan melanggar hukum (tort). Berdasarkan doktrin atau teori tanggung jawab produk, dan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka untuk melindungi konsumen dapat digunakan doktrin atau teori tentang kelalaian (negligence), tanggung jawab mutlak (strict liability) serta pelanggaran terhadap jaminan (breach of warranty). Namun demikian kenyataannya di Indonesia ketentuan tanggung jawab produk tersebut belum sepenuhnya mendasarkan kepada tanggung jawab mutlak (strict liability), sehingga konsumen belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan karena gugatannya harus dapat membuktikan kesalahan dari si pelaku konsumen.
B. Saran
1. Adanya keganjilan dalam pengaturan pertanggungjawaban pelaku usaha jasa profesional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, harus diperbaiki karena menimbulkan keganjilan dan kerancuan. Harus diupayakan kejelasan pembedaan pengaturan kedua macam pertanggungjawaban tersebut.
2. Belum secara nyata diberlakukannya ketentuan tanggung jawab produk berdasarkan kepada tanggung jawab mutlak (strict liability), maka perlu penguatan atas ketentuan tersebut dengan terus mensosialisakan kepada semua pihak yang terkait baik itu masyarakat konsumen, asosiasi pengusaha, juga kepada aparat penegak hukum termasuk didalamnya aparat pemerintahan yang mempunyai sebagian tugas pokok fungsi dibidang pengawasan terhadap barang/jasa dan hasil industri lainnya, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustria, serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Angela Schneeman, 2002, The Law Corporations and other Business Organizations, Third Edition, Albany New York, West Thomson Learning.
Bryan A. Garner, editor in Chief, 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth edition, Thomson West.
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, Abridged, West Publishing Co.
Ida Susanti dan Bayu Seto, ed, 2003, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Cetakan pertama, Bandung, Citra Aditya Bakti.
John Cooke, 2007, Law of Tort, Eighth edition, Edinburgh England, Pearson Education Limited.
Mike W. Martin dan Roland Schinzinger, 1994, Etika Rekayasa terjamahan Prihminto Widodo, Cetakan pertama, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian, Cetakan pertama, Bandung, Citra Aditya Bakti
Rachmadi Usman. 2004. Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender of Last Resort Dalam Kebijakan Bantuan LikuiditasBank Indonesia, (Tesis), Banjarmasin, Program Pasca Sarjana Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Lambung Mangkurat.
Robert Bradgate, 2005, Commercial Law, 3rd Edition, New York, Oxford University Press inc.
Subekti, R. dan Tjitrosudibio, 1980, Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Cetakan ketiga belas, Jakarta, Pradnya Paramita.
Yusuf Shofie, 2009, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Edisi Revisi Cetakan Ketiga, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Majalah
B. Arief Sidharta, “Etika Profesi dan Profesi Hukum Yang Sehat”, Majalah Hukum Pro Justitia, VII (April, 1989).
Ridwan Khairandy, “Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi Electronic Commerce”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 16 (November, 2001).