Rabu, 20 Oktober 2010

Hak Merchandising

PERLINDUNGAN HUKUM HAK MERCHANDISING
DALAM MENUNJANG PERTUMBUHAN INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA














Oleh:
Muhamad Djumhana












BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Dalam setiap kegiatan yang melibatkan masyarakat, sering diperdagangkan benda-benda fungsional tertentu seperti: t shirt, topi, alat-alat tulis sekolah, tas, poster, kalender, gantungan kunci, mainan, mug, alat rumah tangga, yang berhubungan dengan kegiatan termaksud sebagai suatu cinderamata. Produksi, dan perdagangan benda-benda fungsional tersebut nampaknya tidak hanya berhubungan dengan kegiatan tertentu saja, namun juga dapat berhubungan dengan promosi maupun dengan kegemaran masyarakat kepada artis atau karakter film maupun novel..
Produksi, dan perdagangan benda-benda fungsional tersebut pada dasarnya memanfaatkan unsur utama suatu karya intelektual dibidang hak cipta, hak merek, hak desain industri, maupun hak kekayaan intelektual lainnya. Dengan demikian produksi maupun perdagangannya berhubungan dengan hasil kreasi daya cipta sehingga pemilik atau pemegang hak kekayaan intelektual tersebut lah yang juga mempunyai hak untuk memproduksi memperdagangkannya.
Semula tujuan mereka memproduksi, dan memperdagangkan benda-benda fungsional tersebut hanya sebagai cinderamata, dalam rangka mempererat hubungan emosional, alat promosi atau benda-benda kenang-kenangan suatu kegiatan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, saat ini produksi benda-benda fungsional tersebut telah menjadi bagian dari industri kreatif yang ditangani secara serius. Benda-benda fungsional seperti itu dalam dunia perdagangan dikenal dengan istilah merchandise, dan dalam rezim hukum hak kekayaan intelektual atas ciptaan kreatif benda-benda fungsional (merchandise) seperti itu diberikanlah perlindungan hukumnya dengan istilah hak merchandising.
Besarnya pangsa pasar serta konsumen fanatik atas benda-benda fungsional (merchandise) tersebut, telah mengilhami pengusaha tertentu untuk terlibat memproduksinya secara sah maupun tidak sah. Tindakan pengusaha yang tidak sah berupa produk bajakan, yang dapat berupa suatu perbuatan peniruan karakter film, merek, atau logo dan sejenisnya untuk ditempelkan pada barang-barang tertentu, atau pun membuat suatu benda yang menggunakan karakter film tertentu untuk tujuan komersial tanpa hak atau izin dari pemilik hak cipta film tersebut, dan perbuatan lainnya yang tidak dilandasi oleh alas hukum yang sah. Merebaknya penggunaan karakter Upin dan Ipin dalam berbagai merchandise tanpa hak di Indonesia saat ini, menunjukkan bahwa masih begitu seringnya pelanggaran hak merchandising ini.
Adanya pelanggaran terhadap hak merchadising, karena besarnya nilai ekonomi dari penjualan benda-benda fungsional (merchandise) tersebut, serta belum dipahaminya ketentuan hak cipta. Pelanggaran tersebut menyebabkan kerugian ekonomi, yang jumlahnya tidak sedikit bagi pemilik/pemegang hak yang sah. Memperhatikan kondisi seperti itu, maka tidak berlebihan apabila negara-negara industri seperti Australia, Jerman, dan Jepang sangat memperhatikan perlindungan hukum hak merchandising ini.
Berbeda dengan negara-negara di atas, di Indonesia perlindungan hukum terhadap hak merchandising belum tersurat dalam peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual yang ada. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pun, tidak ada ketentuan yang mengaturnya secara tersurat. Ketidakadaan peraturan atau ketentuan, dan lemahnya penegakan hukum seperti itu merupakan kondisi yang tidak diharapkan oleh pelaku usaha industri kreatif.
Kondisi lemahnya hukum tersebut sangat dirasakan oleh para pelaku industri kreatif di Indonesia, mereka selalu dibayangi adanya pelanggaran hak yang dimilikinya berupa pembajakan atas karya ciptanya. Secara kasat mata perdagangan barang bajakan karya cipta musik maupun film dalam bentuk VCD dan DVD sangat marak, hal itu mudah ditemukan di Bandung disekitar pertokoan Dalem Kaum, dan di Jakarta di daerah Glodok. Maraknya bentuk pembajakan karya cipta seperti itulah kiranya yang menjadi alasan Shabhi Mahmashani, menyatakan bahwa efektifitas dan perlindungan HKI akan sangat dirasakan oleh para pencipta, karena hak ekonomi yang didapatkannya tidak sebanding dengan pengorbanannya untuk menciptakan suatu karyanya.
Contoh konkrit lainnya, tampak dari banyaknya kasus pembajakan karya cipta merchandise dapat terlihat dari banyaknya outlet penjual merchandise klub sepakbola seperti Persib, Arema Indonesia, dan klub lainnya, yang dijalankan secara tidak sah, dan tidak membayar royalty kepada klub. Menurut Direktur Bisnis PT. Arema Indonesia, saat ini baru sebanyak 40 outlet yang telah resmi tergabung dengan PT. Arema Indonesia, sehingga dengan demikian selebihnya barang-barang merchandise yang beredar merupakan barang ilegal. Adanya bayangan pembajakan, menyebabkan investasi dalam industri kreatif yang berbasiskan kekayaan intelektual dapat terhambat, dan lamban dalam perkembangannya.
Uraian di atas memberikan gambaran adanya permasalahan hukum yaitu dirasakan kurang atau bahkan belum adanya perlindungan hukum atas hak merchandising di Indonesia. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul, Perlindungan Hukum Hak Merchandising Dalam Menunjang Industri Kreatif di Indonesia Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan mengenai hak kekayaan intelektual akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek ekonomi, teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual yaitu aspek hukum Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti telah diidentifikasi sebagai berikut:
1. Sejauhmana perlindungan hukum terhadap hak merchandising dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dapat menunjang peningkatan industri kreatif?
2. Bagaimanakah pemilik/pemegang hak merchandising melakukan perlindungan secara hukum atas hak merchandising yang dimiliki atau dipegangnya?

C. Kerangka Pikir
Ide dasar sistem hak cipta adalah untuk melindungi wujud hasil karya manusia yang lahir karena kemampuan intelektualnya. Perlindungan hukum ini hanya berlaku kepada ciptaan yang telah mewujud secara khas sehingga dapat dilihat, didengar, atau dibaca. Dengan ide dasar seperti diuraikan di atas, maka perlindungan yang diberikan oleh hak cipta yaitu untuk melindungi pencipta terhadap orang-orang yang ingin memanfaatkan karya ciptanya secara tidak wajar, dan atau mengkomersialkan hak cipta yang bukan miliknya itu, selain itu juga untuk memberikan penghargaan kepada kreativitas seseorang sehingga diharapkan dapat mendorong gairah penciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, dan sekaligus untuk membuat hasil karya tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas.
Selain terhadap hak-hak utama dalam hak cipta, perlindungan diberikan pada unsur-unsur lain dalam hak cipta seperti pengalihwujudan, berupa pencegahan atau larangan kepada pihak lain memanfaatkan dengan tujuan komersial tanpa izin sah dari pemegang hak. Salah satu bentuk pengalihwujudan dari hak cipta tertentu, yaitu berupa produk-produk barang-barang fungsional yang dikenal dengan merchandise. Adapun perlindungan yang diberikan atas penciptaan barang-barang fungsional tersebut dikenal dengan hak merchandising. Dalam kegiatan ekonomi, sektor produksi, dan perdagangan barang-barang fungsional tersebut dalam lingkup industri kreatif.
Industri kreatif, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekonomi kreatif. Menurut Edi Irawan, disebutkan bahwa ekonomi kreatif berfokus pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreativitas sebagai bentuk kekayaan intelektual. Istilah industri kreatif semula berkembang di Inggris, oleh karena itu, pengertian industri kreatif semula dari asing, diantaranya:
Creative Industry: Creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property. This includes: advertising, architecture, the art and antiques market, crafts, design , designer fashion, film and video, interactive leisure software, music, the performing arts, publishing, software and computer services, television & radio.

UK DCMS Task force 1998:
“Creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”

“Industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut “.

Membicarakan perlindungan hukum terhadap hak merchandising dalam menunjang industri kreatif, maka harus mendasarkan kepada prinsip dasar ekonomi yaitu pendekatan cost benefit. Namun dari segi hukum harus berpijak pada konsep pembangunan hukum, dimana suatu materi konsep hukum (a quo perlindungan hukum terhadap hak merchandising) diatur, dan diterapkan dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.
Menurut Adi Sulistiyono, 2007, bahwa:
Dalam upaya menempatkan hukum sebagai instrumen yang berwibawa untuk mendukung pembangunan ekonomi, nampaknya perlu diketahui peran apa yang dikehendaki oleh bidang ekonomi dari keberadaan hukum di masyarakat. Beberapa pakar ekonomi mengharapkan agar pembangunan hukum ekonomi harus diarahkan untuk menampung dinamika kegiatan ekonomi, dengan menciptakan kegiatan yang efisien dan produktif, dan mengandung daya prediktibilitas.
Satjipto Rahardjo, dalam bukunya Hukum dan Masyarakat, telah menguraikan mengenai peran hukum dalam kehidupan ekonomi dengan mendasarkan kepada pendapatnya Nyhart, yang mengemukakan adanya beberapa “konsep-konsep ilmu hukum azasi” yang mempunyai pengaruh bagi pengembangan kehidupan ekonomi sebagai berikut:
(1) Prediktabilitas, hukum mempunyai kemampuan untuk memberikan gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan yang dilakukan pada waktu sekarang.
(2) Kemampuan prosedural, pembinaan di bidang hukum acara memungkinkan hukum material itu dapat merealisasikan dirinya dengan baik, ke dalam pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan melainkan juga semua prosedur penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa, misalnya bentuk-bentuk: arbitrasi, konsiliasi dan sebagainya. Kesemua lembaga tersebut hendaknya dapat bekerja dengan efisien apabila diharapkan, bahwa kehidupan ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang maksimum.
(3) Kodifikasi dari pada tujuan-tujuan, perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu kodifikasi tujuan serta maksud sebagaimana dikehendaki oleh Negara. Di bidang ekonomi misalnya kita akan dapat menjumpai tujuan-tujuan itu seperti dirumuskan di dalam beberapa perundang-undangan yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruhnya terhadap kehidupan perekonomian.
(4) Penyeimbang, sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam masyarakat. Sistem hukum memberikan “kesadaran akan keseimbangan” dalam usaha-usaha negara melakukan pembangunan ekonomi.
(5) Akomodasi, perubahan yang cepat sekali pada hakekatnya akan menyebabkan hilangnya keseimbangan yang lama, baik dalam hubungan antar individu maupun kelompok di dalam masyarakat. Keadaan ini dengan sendirinya menghendaki dipulihkannya keseimbangan tersebut melalui satu dan lain jalan. Di sini sistem hukum yang mengatur hubungan antara individu baik secara material maupun formal memberi kesempatan kepada keseimbangan yang terganggu itu untuk menyesuaikan diri kepada lingkungan yang baru sebagai akibat perubahan tersebut. Pemulihan kembali ini dimungkinkan oleh karena di dalam kegoncangan ini sistem hukum memberikan pegangan kepastian melalui perumusan-perumusan yang jelas dan definitif, membuka kesempatan bagi dipulihkannya keadilan melalui prosedur yang tertib dan sebagainya.
(6) Definisi dan kejernihan tentang status. Di samping fungsi hukum yang memberikan prediktabilitas dapat ditambahkan bahwa fungsi hukum juga memberikan ketegasan mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat.
Memperhatikan rumusan materi muatan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, tidak ada ketentuan pasal yang secara tersurat mengatur mengenai perlindungan hak merchandising. Pengaturan yang ada dan berkaitan dengan perlindungan hak yaitu Pasal 12 ayat (1) huruf l, dan ketentuan lainnya yang bersifat umum yaitu: jenis ciptaan yang dilindungi, jangka waktu perlindungan, juga mengenai penyelesaian pelanggaran hak cipta dari aspek keperdataan dan penyelesaian pelanggaran hak cipta dari aspek pidana, dan ketentuan lainnya.

BAB II
PERAN HUKUM HAK CIPTA DALAM MENUNJANG
INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA

A. Perlindungan Hukum Hak Merchandising Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Dapat Menunjang Peningkatan Industri Kreatif
Dalam hal menyangkut benda-benda fungsional ini nampak sekali, para pemodal yaitu mereka yang dengan modal karya ciptanya dapat mengeksploitasinya secara maksimal bahkan dengan kekuasaannya dapat mempengaruhi konsumen secara leluasa. Kondisi seperti itu diakui oleh Ignatius Haryanto, dengan mengutip pendapat dari Bettig, yaitu bahwa barang-barang bernilai budaya dan juga barang yang bernilai informasi ini ditransformasikan menjadi produk investasi dalam usaha perluasan modal, yang tak lebih kurang sama dengan perusahaan lain yang mengurusi real estat, saham, lisensi, dan lain-lain.
Meskipun dalam hal tertentu mereka pemilik/pemegang hak merchandising ini mempunyai kekuatan yang besar, tetapi dilain pihak apabila tidak dilindungi secara baik oleh hukum mereka akan menjadi lemah karena banyaknya pesaing curang yang mendompleng atau membajak karya cipta mereka. Dengan demikian mereka sangat memerlukan perlindungan hukum. Perlindungan hukum dalam bidang kekayaan intelektual yaitu untuk mengatur kepentingan pihak yang terkait didalamnya, melindungi kepentingan umum dalam hal ini kepentingan negara, dan melindungi kepentingan sosial masyarakat banyak pada umumnya, serta yang terutama untuk kepentingan pribadi si pencipta, atau si penemu (inventor). Dalam posisi demikian, maka hukum berdiri dalam rangka menegakkan suatu ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
Mengacu kepada perlunya perlindungan tersebut, maka salah satu pertimbangan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu peningkatan perlindungan bagi pencipta, dan pemilik hak terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Hukum diciptakan untuk dijalankan, dan ketentuannya hanya dapat dirasakan memberikan manfaat apabila dilaksanakan semua pihak. Gambaran itu menunjukkan bahwa hukum tidak dapat bekerja atas dasar kekuatannya sendiri, ada ketergantungan kepada pihak tertentu seperti pihak yang diatur maupun aparat hukumnya. Memperhatikan kondisi demikian, maka pihak yang berkepentingan pun haruslah aktif juga, artinya menyangkut perlindungan hak cipta maka pihak terkait dengan industri kreatif harus aktif pula melindungi dirinya sendiri.
Keadaan demikian memang disadari oleh pelaku industri kreatif, karena mereka telah banyak dikecewakan oleh pemerintah. Para industri kreatif (perajin perak di Bali) kecewa terhadap pemerintah yang kurang proaktif dalam melindungi produk lokal. Ketika ada kasus di pengadilan dan ratusan orang meminta perlindungan, baru pemerintah dan wakil rakyat seperti tersadar dan bergerak. Ikapi sebagai organisasi penerbit buku juga sering mengalami kekecewaan, terutama saat menangani kasus pembajakan, yaitu kasus pembajakan sering menguap di tangan para penegak hukum, atau bahkan para penegak hukum itu sendiri memperlihatkan ketidakmengertiannya akan arti hak cipta, situasi demikian sama sekali tidak mendorong kegairahan untuk mencipta.
Gambaran kekecewaan pelaku industri kreatif menunjukkan tidak terlindunginya usaha mereka, menyebabkan kerugian usahanya, artinya mereka sangat memerlukan perhatian, dan perlindungan secara hukum, agar perkembangan industri kreatif semakin meningkat.
Dalam rezim hukum hak cipta bahwa hak itu otomatis dimiliki tanpa ada peran pihak negara, tidak seperti kepemilikan hak merek yang baru ada setelah merek itu didaftarkan, dan dicatat dalam buku merek di lembaga pemerintah yang mengurusnya. Dengan demikian keberadaan hak cipta tidak didasarkan pendaftaran, oleh karena itu guna memaksimalkan perlindungan hak cipta yang dimiliki lebih baik apabila haknya didaftarkan pada kantor Hak Kekayaan Intelektual setempat, di lokasi yang pendaftaran hak cipta dapat dilakukan dengan sukarela, serta menempelkan pemberitahuan hak cipta pada setiap karya yang didaftarkan.
Rangkaian uraian di atas menjelaskan konsep-konsep perlindungan hukum dan landasan perlunya perlindungan hak cipta tersebut. Hak cipta diberikan untuk memberi rangsangan kepada para pencipta. . Sehingga akhirnya dirasakan nampak bahwa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dapat memberikan peran, dan sarana untuk menunjang kehidupan industri kreatif.
B. Praktik Pemilik/Pemegang Hak Merchandising Dalam Melindungi Hak Yang Dimiliki Atau Dipegangnya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Hukum diciptakan untuk dijalankan, dan ketentuannya hanya dapat dirasakan memberikan manfaat apabila dilaksanakan semua pihak. Gambaran itu menunjukkan bahwa hukum tidak dapat bekerja atas dasar kekuatannya sendiri. Dengan demikian maka, ketentuan akan apapun baiknya, apabila pihak yang terkait dengan peraturan perundang-undangan tidak menjalankannya atau menggunakannya, maka ketentuan tersebut hanya sebatas rangkaian kata saja.
Memperhatikan begitu besarnya peran, pihak yang berkepentingan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka penulis membahas praktik para pemilik/pemegang hak dalam melindungi haknya. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak merchandising yang dimiliki atau dipegangnya, maka orang-orang yang mengalami gangguan tersebut akan mencari jalan untuk dapat memulihkan hak-hak atau kepentingannya. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, meskipun ketentuannya tidak secara langsung namun telah memuat ketentuan yang umum untuk menjadi alasan kepada pemilik/pemegang hak merchandising untuk memulihkan hak-hak atau kepentingannya dengan mengajukan:
1. Gugatan Perdata.
Pemilik/pemegang hak cipta berhak untuk mengajukan ganti rugi ke Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta dan dapat meminta penyitaan terhadap benda hasil pelanggaran hak cipta (a quo hak merchandising), dengan membayar sejumlah nilai benda (merchansdise) yang diserahkan oleh pihak yang beritikad baik. Hakim berdasarkan keyakinan selama pemeriksaan dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan perbanyakan merchansdise, untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar.
2. Tuntutan Pidana
Dengan adanya hak untuk mengajukan gugatan perdata oleh pemegang hak tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana atas pelanggaran hak cipta itu. Adanya ancaman pidana itu adalah sebagai salah satu upaya penangkal pelanggaran hak cipta, serta untuk lebih melindungi pemegang hak cipta juga memungkinkan penahanan sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Berdasarkan Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu:
a. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing- masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau enjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ketentuan di atas sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, sejatinya ditujukan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pencipta atau pemegang hak cipta, namun dirasakan kenyataannya belum dapat terwujud. Dalam sebuah seminar, praktisi hak kekayaan intelektual, Justisiari P Kusumah menegaskan bahwa upaya perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia tidak cukup dengan menyerahkan perlindungan kepada aparat atau sistem hukum yang ada, tetapi perlu langkah-langkah non-legal. Langkah itu di antaranya adalah pemberian informasi mengenai kepemilikan hak kekayaan intelektual oleh pemilik hak, survei lapangan, peringatan kepada pelanggar, dan sebagainya. Selain langkah tersebut di atas, ada juga tindakan pemilik/pemegang hak merchandising dengan menempelkan hang tag sebagai salah satu upaya untuk memberantas praktek pembajakan, sebagaimana dilakukan oleh PT Arema, untuk mengurangi pembajakan dan beredarnya merchansdise yang tidak membayar royalty.
Upaya perlindungan seperti itu dilakukan mereka karena, berdasarkan praktik, belum begitu memasyarakatnya hak kekayaan intelektual menyebabkan perlindungan yang diberikan pemerintah belum optimal. Menyiasati kondisi tersebut maka untuk itu pemilik hak melakukan langkah-langkah non-legal untuk menegaskan kepemilikan haknya, dan juga menegaskan kepada pihak-pihak lain bahwa mereka akan mengambil tindakan yang tegas terhadap segala upaya penggunaan atau pemanfaatan secara tidak sah atas haknya tersebut. Langkah tersebut secara ekonomi lebih banyak ditempuh karena belum baiknya perlindungan yang diberikan oleh negara, upaya penegakan hukum hak kekayaan intelektual di Indonesia ini. masih tidak sesuai dengan konsep cepat dan berbiaya ringan, sehingga dalam praktik sering ditemukan iklan permohonan maaf dari para pelanggar hak kekayaan intelektual seperti pelanggar hak cipta, merek maupun desain industri tersebut.
Langkah pemuatan iklan permohonan maaf dari pelanggar hak pihak lain, itu dilakukan biasanya melalui negosiasi. Pemilik/pemegang hak merchandising biasanya langsung menghubungi pihak pembajak atau penjual barang bajakan, dan selanjutnya dibujuk untuk berunding. Praktik ini telah dilakukan Disney Consumer Product Int di Indonesia, pada tahun 1993, manajer pemasarannya melakukan bujukan kepada para pembajak, pertama kali dengan melancarkan pengumuman lewat iklan dan diberi kesempatan untuk berunding. Langkah yang dipraktikan oleh Disney Consumer Product Int di Indonesia, menggambarkan bahwa mereka setelah melihat sebuah pelanggaran atas hak ciptanya, maka dilakukan dengan memulainya mengirim surat (yang disebut “cease dan desist letter”) kepada para pelanggar yang diduga, yang mana menginformasikan adanya kemungkinan timbul sebuah konflik. Menurutnya, membujuk agar mau diajak bekerja sama dan mentaati hukum bagi kami lebih efektif dari pada menindaknya.
Tindakan para pemilik hak cipta untuk melindungi haknya yang tidak mendasarkan kepada peraturan sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan apabila dalam sistem peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan efisiensi secara ekonomi, maka ketentuan tersebut akan ditinggalkan. Oleh karena itu sistem itu harus senantiasa diusahakan agar dapat menampung idea-idea baru serta disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang berubah apabila ia hendak memperoleh tingkat efisensi yang setinggi-tingginya. Dalam hubungan ini hukum dapat membantu dengan menarik lembaga-lembaga yang tidak sesuai lagi itu serta menciptakan lembaga-lembaga baru yang dikehendaki, artinya mengingat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, belum ada pengaturan hak merchandising maka, dalam revisi undang-undang yang akan datang harus diatur hak merchandising secara baik.
Semua uraian praktik tersebut di atas menunjukkan adanya peranan positif yang dapat dimainkan oleh hukum, dengan tetap mengedepankan ukurannya yaitu kepentingan dunia usaha itu sendiri. Peranan hukumnya nampak dari cara melakukan penciptaan lembaga hukum baru yaitu pengaturan hak merchandising yang lebih tersurat dalam Undang-Undang Hak Cipta yang baru tersebut. Dengan demikian maka dengan lahirnya peraturan perundang-undangan yang baru, sekaligus menunjukkan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut mengamankan hasil-hasil yang diperdapat oleh kerja dan usaha pencipta merchansdise.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, telah memberikan perlindungan kepada pemilik.pemegang hak cipta meskipun belum secara kuat, hal itu diantaranya terlihat pada ketentuan untuk menuntut jika terjadi pelanggaran terhadap hak cipta (a quo hak merchandising). Dalam kondisi ini menunjukkan adanya peranan positif yang telah dimainkan oleh hukum, dengan mengamankan hasil-hasil yang didapat oleh kerja dan usaha pencipta merchansdise. Perlindungan yang efektif dari hak cipta akan mendorong pengembangan dari pembangunan industri kreatif
2. Tindakan para pemilik hak cipta untuk melindungi haknya yang tidak mendasarkan semata kepada peraturan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dilandasi beberapa sebab, yaitu:
a. apabila dalam sistem peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan efisiensi secara ekonomi, maka ketentuan tersebut akan diabaikan atau bahkan ditinggalkan karena ketentuannya sudah tidak dapat menampung ide-ide baru serta kondisi-kondisi yang berubah;
b. belum baiknya perlindungan yang diberikan oleh negara, seperti terlihat dalam upaya penegakan hukum hak kekayaan intelektual yang lama dan mahal, hal demikian diperparah dengan kurang responsifnya pemerintah atas kasus-kasus hak cipta yang menimpa pelaku industri kreatif skala kecil, pemerintah dirasakannya kurang proaktif dalam melindungi produk lokal.
B. Saran
1. Industri kreatif merupakan salah satu pilar utama dalam mengembangkan sektor ekonomi yang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian pemerintah harus mendorong, dan mempermudah bagi pelaku industri kreatif untuk mendaftarkan ciptaannya, serta segera untuk mendata dan mendaftarkannya kekayaan budaya bangsa seperti ragam hias, dan ukiran asli Indonesia, agar tidak didaftarkan oleh pihak asing sebagaimana telah terjadi di Bali, dan Jepara, dimana ragam hiasnya didaftarkan oleh pihak asing.

2. Pemerintah perlu terus meningkatkan sektor industri kreatif secara ekonomi, juga peningkatan dalam hal perlindungan aspek hak kekayaan intelektual. Dalam rangka upaya itu, maka Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian sebelumnya perlu menyiapkan pemetaan permasalahan industri kreatif baik yang menyangkut aspek hukumnya, maupun aspek ekonomi secara menyeluruh agar mudah menjalankan kegiatan pembinaannya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Adi Sulistiyono, 2007, Pembangunan Hukum Ekonomi Untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret..
Ignatius Haryanto, (2002). Tinjauan Ekonomi Politik Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual Penghisapan Rezim HAKI, Cetakan pertama, Jakarta: debt-Watch Indonesia.
Masayasu Ishida, 2001, Character and Merchandising Rights, Japan Patent Office.
Muhamad Djumhana, dan R. Djubaedilah, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Cetakan Ketiga, Bandung, Citra Adtya Bakti.
Paul Goldstein, 1997, Hak Cipta Dahulu, Kini dan Esok, terj. Masri Maris, Cetakan pertama, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Cetakan ketiga, Bandung, Angkasa.
Tamotsu Hozumi, 2006, Asian Copyright Handbook Buku Panduan Hak Cipta Asia Versi Indonesia (terjemahan Masri Maris), Cetakan pertama, Jakarta, Asia/Pasifik Cultural Centre for UNESCO dan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi).
World Intellectual Property Organization, Ekspresi Kreatif, Pengantar Hak Cipta dan Hak Terkait untuk Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta, Komite Tetap Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia).

B. Paper, Jurnal, Majalah
Ahmad Haydar, Peranan Polri dalam Penegakan Hukum di bidang Hak Cipta, Media HKI Vol.. IV/No.4 /Agustus 2007.
Edi Irawan, Penguatan Fondasi Dan Pilar Subsektor Seni Musik Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif, Media HKI Vol.. IV/No.4 /Agustus 2008.

Ignatius Haryanto, Mengurai Hak Cipta Ketegangan antara Moda Produksi dan Moda Distribusi, Kompas, Jumat, 01 Agustus 2003.
C. Surat Kabar, Internet
Hanum Oktavia Rosyidah, Tak Punya Sponsor Arema Indonesia Patenkan Logo, http://aremasenayan.com/2010/03/22/tak-punya-sponsor-arema-indonesia-patenkan-logo.php, diakses pada tanggal 17 April 2010.
Shabhi Mahmashani, Membangun Citra Positif Hak Kekayaan Intelektual HKI-Sebagai Satu Sistem Perlindungan Ide, http://pusathki.uii.ac.id/news/artikel-terbaru/membangun-citra-positif-hak-kekayaan-intelektual-hki-sebagai-satu-sistem-perlindungan-ide.html, diakses pada tanggal 17 April 2010.
Suara Pembaruan (28 Oktober 2004).
http://dgi-indonesia.com/news-kisah-sedih-dari-bali/ diakses pada tanggal 17 Mei 2010, jam 17.00 WIB.
Berbagai Sudut Pandang Tentang Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif, http://ekonomikreatif. blogspot.com/2008/04/berbagai-sudut-pandang-tentang-ekonomi.html, diakses pada tanggal 1 Agustus 2010, jam 19.00.
Studi Mapping Industri Kreatif Indonesia versi Departemen PerdagangaRI, http://industrikreatif-depdag.blogspot.com/, diakses pada tanggal 1 Agustus 2010, jam 19.00.
D. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar